Cerita tentang Budi...
Seribu, dua ribu, sepuluh ribu, tiga puluh lima ribu rupiah... Mulutnya berkomat-kamit sambil menghitung lembaran rupiah yang tersimpan di kantong plastik hitam dalam genggamannya. Wajahnya tersenyum puas menandakan usahanya hari ini tidak sia-sia.
Budi, sebut saja namanya seperti itu, anak laki-laki kurus berusia antara sebelas sampai tigabelas tahun itu berlari di sebelahku, ia berlari di tengah hujan sambil mengantarkanku ke tempat tujuan. Ya, Budi adalah salah seorang ojek payung anak yang berpangkal di daerah Grogol, Jakarta Barat.
Profesi ini baru sekitar sebulan ia jalani, sebelumnya ia mengamen antar kopaja rute Grogol - Kali Deres dan sebaliknya. Pekerjaan itu ia tinggalkan untuk sementara, maklum musim hujan sudah datang. Menjajakan jasa pengantaran payung jauh lebih menguntungkan dibandingkan menyanyikan alunan tembang top 20 di radio. Selain waktu kerjanya jauh lebih singkat modal yang harus dikeluarkan hanya satu, sebuah payung.
Budi tidak pernah sekolah, orang tuanya tidak mengantarkannya untuk menerima pendidikan walaupun di jenjang taman kanak-kanak. Tetapi ia mengerti bagaimana menservis pelanggannya dengan baik. Seperti saya contohnya, saya termasuk puas dengan layanan ojek payung Budi. Tidak seperti ojek payung lain yang pernah saya gunakan, Budi termasuk penjual jasa yang ramah, banyak bicara dan sopan. Perjalanan saya menuju pangkalan angkutan umumpun terasa lebih menyenangkan.
Kata Budi suatu saat dia ingin bekerja seperti saya, berpakaian rapi, masuk pagi dan pulang di malam hari. Ia bermimpi kerja di kantor besar walaupun tidak mengetahui pekerjaan apa yang ingin di duduki, yang penting di kantor besar saja seperti orang-orang yang dilihatnya setiap hari.
Tanpa terasa kami sudah sampai di angkutan yang akan saya tumpangi, saya mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu rupiah dan memberikannya kepadanya.
"Wah, ga ada kembaliannya kak.. Duitnya basah semua..."
"Udah ambil aja semua..."
"Beneran kak??? makasih yaahh..", ujarnya sambil tersenyum simpul. "Semoga selamat sampai tujuan yah kak, kapan-kapan ketemu lagi...", katanya sambil berlaru pergi.
Aku masih memperhatikan sosoknya sampai menghilang di tengah tarian hujan yang begitu deras. Aahh Budi terima kasih sudah menemaniku tertawa selama beberapa menit. Kapan-kapan jika bertemu kembali akan kutraktir kopi. (:
Budi, sebut saja namanya seperti itu, anak laki-laki kurus berusia antara sebelas sampai tigabelas tahun itu berlari di sebelahku, ia berlari di tengah hujan sambil mengantarkanku ke tempat tujuan. Ya, Budi adalah salah seorang ojek payung anak yang berpangkal di daerah Grogol, Jakarta Barat.
Profesi ini baru sekitar sebulan ia jalani, sebelumnya ia mengamen antar kopaja rute Grogol - Kali Deres dan sebaliknya. Pekerjaan itu ia tinggalkan untuk sementara, maklum musim hujan sudah datang. Menjajakan jasa pengantaran payung jauh lebih menguntungkan dibandingkan menyanyikan alunan tembang top 20 di radio. Selain waktu kerjanya jauh lebih singkat modal yang harus dikeluarkan hanya satu, sebuah payung.
Budi tidak pernah sekolah, orang tuanya tidak mengantarkannya untuk menerima pendidikan walaupun di jenjang taman kanak-kanak. Tetapi ia mengerti bagaimana menservis pelanggannya dengan baik. Seperti saya contohnya, saya termasuk puas dengan layanan ojek payung Budi. Tidak seperti ojek payung lain yang pernah saya gunakan, Budi termasuk penjual jasa yang ramah, banyak bicara dan sopan. Perjalanan saya menuju pangkalan angkutan umumpun terasa lebih menyenangkan.
Kata Budi suatu saat dia ingin bekerja seperti saya, berpakaian rapi, masuk pagi dan pulang di malam hari. Ia bermimpi kerja di kantor besar walaupun tidak mengetahui pekerjaan apa yang ingin di duduki, yang penting di kantor besar saja seperti orang-orang yang dilihatnya setiap hari.
Tanpa terasa kami sudah sampai di angkutan yang akan saya tumpangi, saya mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu rupiah dan memberikannya kepadanya.

"Udah ambil aja semua..."
"Beneran kak??? makasih yaahh..", ujarnya sambil tersenyum simpul. "Semoga selamat sampai tujuan yah kak, kapan-kapan ketemu lagi...", katanya sambil berlaru pergi.
Aku masih memperhatikan sosoknya sampai menghilang di tengah tarian hujan yang begitu deras. Aahh Budi terima kasih sudah menemaniku tertawa selama beberapa menit. Kapan-kapan jika bertemu kembali akan kutraktir kopi. (:
Comments
Post a Comment