Beberapa waktu lalu saya cukup terkejut dengan penutupan beberapa majalah keluaran penerbit terkenal di Indonesia. Penutupannya menurut saya begitu mendadak, tapi siapa yang tau.. pastinya si penerbit sudah mempertimbangkan hal tsb minimal tiga bulan sebelumnya. Tapi saya seakan masih tidak percaya, inikah dampak ke"runtuh"an media cetak di Indonesia?
Ya, saya salah satu pecinta media cetak. Bagi saya membaca koran/ majalh/ tabloid atau apapun itu jauh lebih menyenangkan daripada membaca melalui smartphone (layar kecil) ataupun tablet (berat). Tapi itu menurut saya loh, terserah menurut kalian. Mungkin karena saya tau untuk menulis dan menceritakan sesuatu yang sudah kita baca pada setiap media itu tidak gampang. Mereka harus mencari tema, memikirkan sub tema, melakukan riset atau wawancara, mengedit tulisan, memilih judul dll. Dan itu harus dilakukan terus menerus, ga gampang loh.
Saya ingat saat menulis berita di masa kuliah dulu, susah eh malas (LOL). Kadang saya harus jungkir balik dulu dengan harapan jika aliran darah lebih banyak mengalir ke otak maka kita akan lebih cerdas (haha) tapi kadang berhasil loh. INTInya menulis itu susah-susah-gampang, tapi ada kepuasan di dalamnya.
Tapi yang menjadi masalah adalah kita harus membeli setiap hari, kalau langganan malah keseringan ga dibaca. Coba kita liat di gedung pemerintahan, rumah sakit atau tempat-tempat umum lainnya, tempat-tempat yang menyediakan media cetak apapun bentuknya tsb kebanyakan pemilik atau penunggu gedung tsb tidak akan membacanya dengan alasan apapun. Jadi memang menjadi sesuatu yang tidak simple dengan media konvesional tsb. Belum lagi tumpukaan sampah yang akan ditimbulkan jika kita berlangganan, bagi kita yang belum dapat me-recycle sampah tsb hal ini menjadi PR bulanan. Oh ya, ini juga belum termasuk biaya bulanan yg harus dikeluarkan dibandingkan dengan media online yang gratis atau cukup dengan kuota internet. Beda sekali kan pengeluarannya.
Di pihak perusahaan, penjualan yang terus merosot, pengiklan yang mulai memangkas budget beriklan, kurangnya inovasi dan kerjasama event, membuat majalah semakin jatuh terperosok ditinggal pembacanya. Mempertahankan pembaca lebih sulit daripada menambah jumlah pembaca. Saya termasuk kagum dengan salah satu majalah pria dewasa yang menurut saya sangat rajin membuat inovasi dan event. Di saat media lain cukup puas dengan pencapaian pengulangan event mereka, majalah ini terus mengembangkan inovasi menggunakan event baru, apps dan tv. Dan terbukti disaat media lain mulai berjatuhan atau mengikuti metode yang mereka lakukan, majalah tsb masih bisa survive dan sepertinya mencoba melakukan beberapa kegiatan baru. Ini yang terus membuat bisnis hidup.
Tapi inipun seharusnya sudah bisa diprediksi karena media cetak Amerika sudah mengalami dampak yang sama dari tahun 2008. Jika media dan perusahaan itu pintar, mereka seharusnya sudah belajar dan mempersiapkan dari jauh-jauh hari. Karena rentang waktunya cukup lama dirasakan oleh Indonesia, tapi ya setiap perusahaan mempunyai pertimbangan sendiri. Yang jelas jika mereka tidak siap maka hal ini sudah bisa diprediksi jauh cepat atau lambat.
Walaupun sedih tapi selamat tinggal beberapa majalah tadi. Mari kita belajar untuk peka tekhnologi dan trend sekitar. Teori dan idealisme hanya ada di bangku kuliah. Inovasi dan realisasi ada di dunia usaha. Selamat tinggal.
Ya, saya salah satu pecinta media cetak. Bagi saya membaca koran/ majalh/ tabloid atau apapun itu jauh lebih menyenangkan daripada membaca melalui smartphone (layar kecil) ataupun tablet (berat). Tapi itu menurut saya loh, terserah menurut kalian. Mungkin karena saya tau untuk menulis dan menceritakan sesuatu yang sudah kita baca pada setiap media itu tidak gampang. Mereka harus mencari tema, memikirkan sub tema, melakukan riset atau wawancara, mengedit tulisan, memilih judul dll. Dan itu harus dilakukan terus menerus, ga gampang loh.
Saya ingat saat menulis berita di masa kuliah dulu, susah eh malas (LOL). Kadang saya harus jungkir balik dulu dengan harapan jika aliran darah lebih banyak mengalir ke otak maka kita akan lebih cerdas (haha) tapi kadang berhasil loh. INTInya menulis itu susah-susah-gampang, tapi ada kepuasan di dalamnya.
Tapi yang menjadi masalah adalah kita harus membeli setiap hari, kalau langganan malah keseringan ga dibaca. Coba kita liat di gedung pemerintahan, rumah sakit atau tempat-tempat umum lainnya, tempat-tempat yang menyediakan media cetak apapun bentuknya tsb kebanyakan pemilik atau penunggu gedung tsb tidak akan membacanya dengan alasan apapun. Jadi memang menjadi sesuatu yang tidak simple dengan media konvesional tsb. Belum lagi tumpukaan sampah yang akan ditimbulkan jika kita berlangganan, bagi kita yang belum dapat me-recycle sampah tsb hal ini menjadi PR bulanan. Oh ya, ini juga belum termasuk biaya bulanan yg harus dikeluarkan dibandingkan dengan media online yang gratis atau cukup dengan kuota internet. Beda sekali kan pengeluarannya.
Di pihak perusahaan, penjualan yang terus merosot, pengiklan yang mulai memangkas budget beriklan, kurangnya inovasi dan kerjasama event, membuat majalah semakin jatuh terperosok ditinggal pembacanya. Mempertahankan pembaca lebih sulit daripada menambah jumlah pembaca. Saya termasuk kagum dengan salah satu majalah pria dewasa yang menurut saya sangat rajin membuat inovasi dan event. Di saat media lain cukup puas dengan pencapaian pengulangan event mereka, majalah ini terus mengembangkan inovasi menggunakan event baru, apps dan tv. Dan terbukti disaat media lain mulai berjatuhan atau mengikuti metode yang mereka lakukan, majalah tsb masih bisa survive dan sepertinya mencoba melakukan beberapa kegiatan baru. Ini yang terus membuat bisnis hidup.
Tapi inipun seharusnya sudah bisa diprediksi karena media cetak Amerika sudah mengalami dampak yang sama dari tahun 2008. Jika media dan perusahaan itu pintar, mereka seharusnya sudah belajar dan mempersiapkan dari jauh-jauh hari. Karena rentang waktunya cukup lama dirasakan oleh Indonesia, tapi ya setiap perusahaan mempunyai pertimbangan sendiri. Yang jelas jika mereka tidak siap maka hal ini sudah bisa diprediksi jauh cepat atau lambat.
Tidak ada iklan, tidak ada modal.
Tidak ada pembaca, tidak balik modal.
Tidak ada inovasi, tidak ada iklan dan pembaca setia.
Tidak ada pembeli, tidak ada uang.
Tidak ada uang, tidak ada gaji karyawan.
Walaupun sedih tapi selamat tinggal beberapa majalah tadi. Mari kita belajar untuk peka tekhnologi dan trend sekitar. Teori dan idealisme hanya ada di bangku kuliah. Inovasi dan realisasi ada di dunia usaha. Selamat tinggal.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete